Kado Pernikahan Untuk Sahabat
nilal 'ulya
(cerpen ini dapat dibaca di kumcer Santri Wahid Hasyim "Santri Anti Galau")
Seorang
santri terlihat menyendiri menghadap layar laptop di salah satu sudut kamar
Asrama Abdul Hadi. Mungkin beberapa santri yang dari tadi sempat keluar masuk
kamarnya mengiranya sedang khusyuk dengan kata-kata. Ya, santri satu ini memang
sudah biasa mengirim tulisan-tulisannya di berbagai media cetak, jadi wajar
kalau santri-santri tadi mengira demikian dan tidak mencoba mengganggu
kekhusyuannya. Tapi siapa sangka kalo para santri tadi salah kira?
Santri yang menyendiri di salah satu
sudut kamar itu adalah aku. Santri sekaligus mahasiswa yang tengah menanti
saatnya wisuda tiba. Alhamdulillah, perkuliahan yang kutempuh lebih kerang
empat tahun terakhir ini sudah berhasil kutaklukkan. Bahagia itu pasti. Tapi,
kebahagiaan itu ternyata datang berkawan. Kebahagiaan itu tak datang sendiri.
Dia datang bersama dengan berbagai pertanyaan yang entah mengapa membuatku
sesak mendengarnya.
Seperti sore tadi, saat ibuk
menelponku. Awalnya obrolan kita nampak seperti biasa, tanya kabar dan saling
berbagi cerita masih seperti biasa. Sampai pada akhirnya ibuk menanyakan
tentang aku yang kapan pulang? Sudah mantep boyong atau masih mau nyantri?
Mungkin kalau ibuk menanyakan itu di
waktu yang lain, aku tidak senyesek ini. Aku memang merasa aneh dengan diriku
sendiri akhir-akhir ini. Sensitif dan mudah
tersinggung. Entah mengapa aku seperti ini?
Ah... basa-basi...!!!
Mungkin
sebenarnya aku tau apa yang sebenarnya membuatku begini. Karena ledekan teman-teman
yang tidakbisatidak kupikirkan.
***
“mbak Say, udah beli kado buat mbak
Yang belum?” tanya Anis ditengah-tengah dandannya hendak ke kampus.
“belum dek, belum dapet ide mau
ngado apaan... hehe”
“lho? Mau ngado pakek cari ide juga to mbak? Wahh... jadi mau tau nih nanti
bakal ngado apaan? Hahaha” timpal Anis mulai meledek. Matanya mengerling nakal.
Aku Cuma nyengir.
Mbak Yang atau Mela, adalah karibku
sejak awal kita menjadi santri di Wahid Hasyim. Kedekatan kita sudah tidak
dipertanyakan lagi. Hampir semua santri tahu tentang keakraban kita yang penuh
kasih sayang. Itu sebabnya kita punya panggilan kesayangan dari teman-teman
santri yaitu Say dan Yang. Say untukku dan Yang untuk Mela.
Aku dan Mela sama-sama wisuda besok
April, itu berarti sekitar satu setengah bulan lagi. Dan satu bulan sebelum
wisuda, Mela insyaaAlloh akan melangsungkan pernikahannya dengan mas Bani.
Tepatnya dua minggu lagi.
Dari situlah ledekan teman-teman
mulai gencar menyerangku. “mbak Say nggak sekalian nikah bareng sama mbak
Yang?” atau “Mbak Say kok undangannya Cuma satu? Punya mbak Say belum disebar?”
dan berbagai pertanyaan bermaksud sama.
Sungguh, aku ikhlas kalau Mela
memang harus menikah lebih dulu. Aku tidak iri dengan nasib Mela yang telah
dipertemukan jodohnya. Dan seperti biasa aku selalu ikut senang apabila Mela
senang.
Tapi ternyata, ledekan itu diam-diam
memaksaku untuk berfikir ke arah itu. Menikah. Tapi dengan siapa? Aku tidak
sedang ‘dekat’ dengan lelaki manapun.
***
“Din, akhir-akhir ini aku ngimpiin
kamu terus” kata Mela di telfon pagi tadi.
“haha... udah mau nikah kok
ngimpiinnya aku Mel? Nggak mimpiin mas Bani?” ledekku coba menutupi keharuan.
“aku serius Din, rasanya aku belum
tenang kalo kamu belum ada kepastian kapan mau nyusul aku. Aku tau kamu juga
berdebar menanti kapan kamu bisa menikah seperti aku yang sebentar lagi menikah
kan, Din?” Mela selalu lembut tuturkatanya, tak terkecuali kata-kata tadi.
Diucapkannya begitu lembut. Berbeda dari yang lain, sama sekali tak
menjadikanku merasa nyesek seperti biasanya.
“iya Mel, kamu tahu kan cerpen yang
terakhir dimuat di majalah?” tanyaku untuk memstikan Mela mengingat ceritanya.
“tentu, Din. Siapa laki-laki yang
kamu maksud? Kakak kelasmu itu?”
“siapa lagi kalau bukan dia, Mel?
Kamu tahu sejak dulu aku tak pernah dekat dengan laki-laki karena aku masih
berharap pada janji kakak kelasku, Mel”
“aku mengerti, Din... tapi tak
pernah ada kabar dari kakak kelasmu sejak perpisahan kan? Sudah hampir lima
tahun, Din. Dan...” kata-kata Mela mela
mengambang, sejenak dia menarik bafas panjang. Kami terdiam.
“iya, Mel... aku mengerti maksudmu.
Untuk hal satu ini aku memang tidak realistis. Tapi perasaanku tak bisa
berbohong, Mel. Hatiku mantap untuk percaya pada janji itu. Entah lah, Mel.
Tolong jangan dibahas lagi. Aku sebel sama diriku sendiri kalo inget itu”
“iya sayyang. Mela sayyang Dini. Ya
sudah, jangan terlalu di ambil hati. Maaf ya, Din?”
“hemmm... iya iya....”
***
Obrolan dengan Mela di telfon
sedikit memberi pencerahan untukku. Tentang cerpenku tarakhir itu. Aku jadi
teringat bahwa sekitar satu tahun
terakhir ini, aku diam-diam suka memperhatikan ustadz baru di Pesantren. Entah
apa yang membuatku tertarik memperhatikan beliau. Yang aku rasa, aku seperti
melihat sosok yang sangat aku rindukan ada pada ustadz itu. Padahal secara fisik
aku tak melihat ustadz itu mirip dengannya, kakak kelasku yang aku rindukan
selama bertahun-tahun. Dan cerpen pun terlahir karena pengalaman itu. Cerpen
yang menceritakan tentang aku, masalaluku dan ustadz baru yang hadir
ditengah-tengah kerinduanku pada masalalu.
Aku ingat bait-bait yang kutulis
sebagai penutup cerpen itu
Entah
dari sisi yang mana
Aku selalu melihat sosokmu pada dirinya
Bahkan saat dia hanya sedang diam terduduk
Sedang mata
normalku jelas tak melihat kemiripan sedikitpun
Aku merasa ada yang aneh pada diriku
Dan semakin
aneh...!!!
Entah dari sisi yang mana?
Apa mungkin karena
aku terlalau merindukanmu?
Apa mungkin karena aku lelah merindukanmu?
Sehingga alam bawar sadarku berbicara kelucuan ini?
Aku tak persis tau
Seandainya kau datang
Kupastikan aku tau
Kelucuan macam apa ini...
Tiba-tiba terbersit pikiran aneh.
Jangan-jangan Tuhan sengaja mengirim ustadz itu untuk menjadi penawar rindu
yang sebenarnya?
***
Masih ada hari ini, esok dan lusa
menjelang pernikahan Mela, aku belum juga mempunyai kado spesial untuknya.
Akhinya aku memutuskan untuk jalan-jalan ke mall hari ini untuk membeli sesuatu
untuk Mela.
Aku pun bersiap-siap dan memantas
diri di depan kaca. Tiba-tiba Anis datang dan memberitahu bahwa ada saudaraku
yang menunggu di kantor. Aku mengernyit, “sodara?
Yang mana? Tumben?” batiku dalam hati. Tapi toh aku tetap menemui.
Kantor pagi itu kebetulan sedang
sepi. Aku mengetok daun pintu yang tidak ditutup dan langsung masuk tanpa
persetujuan dari penghuninya, memang sudah umumnya begitu. Dan tak perlu
menyisir ruangan itu dengan detail, aku melihat Aris, sodaraku tengan duduk di
salahsatu kursi bersama seorang laki-laki yang memunggungiku. Hatiku berdesir.
Desiran yang sama dengan desiran-desiran bertahun-tahun yang lalu.
“Aris?” sapaku kaku. Tiba-tiba
tubuhku terasa bergetar seluruhnya. Entah mengapa.
Aris dan laki-kali itu pun menyadari
kehadiranku, mereka menoleh kearahku bersamaan. masyaaAlloh... mas Fikar? hati ini tak henti-henti berdesir.
Aku segera menunduk menyadari bahwa
yang di depanku saat ini adalah orang yang sangat aku rindukan. Rasanya seperti
mimpi. Aku benar-benar lemas saat itu, ingin menangis tapi malu. Mela, seharusnya kau menyaksikan ini.
“Andini. Kau masih mengenalku?”
Aku
diam tak menjawab. Lidahku kelu.
Suara
mas Fikar. Sungguh itu benar suara yang pernah kudengar dan berjanji akan
datang kepadaku dengan cinta. Yaa Alloh,
peluk aku... peluk aku yaa Alloh...
“aku baca ini, Din. Apa benar
laki-laki yang bisa menjawab keluacuan di cerita ini adalah aku?”
Aku coba mengumpulkan kekuatanku
yang masih tersisa. Kehadiran yang tak terduga ini nyaris menguras seluruh
energiku. Aku belum siap.
Kutatap matanya. Seolah menantang.
“pertanyan bodoh mas, tapi aku tak mungkin menjawab bukan” jawabku kubuat
setegas mungkin aku bisa.
Aris yang sedaritadi menunduk
akhirnya mendongak. Menatapku dengan tatapan tak percaya. Mas Fikar justru trus
menunduk. Aku mengikut. Menunduk lagi. Dan, hening...
“bersediakah kamu jadi istriku,
Din?” suara mas Fikar bergetar. Dia serius. Dan sekarang aku tak hanya ingin
mengangis, tapi juga menjerit.
Masih seperti mimpi rasanya. Tapi
ini sungguhan, mas Fikar benar-benar datang menepati janjinya.
“hahaha” aku tertawa, tawa yang
sangat dibuat-buat. “apa-apaan? Kamu bercanda mas?”
Aku
ikut menatapnya, kemudian mencoba menjawabnya dengan penuh keyakinan. Bismillahirrohmanirrohim. “kamu
benar-benar tak sopan, mas. Aku kan punya bapak. Beliau waliku, mintalah aku
pada beliau”
Mas
Fikar tersenyum, begitu juga Aris. Jawaban yang tegas, tapi dengan airmata yang
tak ter tahan. Airmata itu mulai menganak sungai dipipiku.
Mela,
kau tak perlu gelisah. Kepastian itu sudah ada. Dia di depanku sakarang. Apa kabar
ini cukup menjadi kadoku untukmu, Mel? Mela... aku bahagia...
Trimakasih yaa Alloh...
12
Desember 2012
.... siippp ,, siapakah penyusun ??
BalasHapuspenyusun apa.?
Hapus