Selasa, 16 April 2013

Cerpen: Kado Pernikahan Untuk Sahabat


Kado Pernikahan Untuk Sahabat
nilal 'ulya
(cerpen ini dapat dibaca di kumcer Santri Wahid Hasyim "Santri Anti Galau")



Seorang santri terlihat menyendiri menghadap layar laptop di salah satu sudut kamar Asrama Abdul Hadi. Mungkin beberapa santri yang dari tadi sempat keluar masuk kamarnya mengiranya sedang khusyuk dengan kata-kata. Ya, santri satu ini memang sudah biasa mengirim tulisan-tulisannya di berbagai media cetak, jadi wajar kalau santri-santri tadi mengira demikian dan tidak mencoba mengganggu kekhusyuannya. Tapi siapa sangka kalo para santri tadi salah kira?
            Santri yang menyendiri di salah satu sudut kamar itu adalah aku. Santri sekaligus mahasiswa yang tengah menanti saatnya wisuda tiba. Alhamdulillah, perkuliahan yang kutempuh lebih kerang empat tahun terakhir ini sudah berhasil kutaklukkan. Bahagia itu pasti. Tapi, kebahagiaan itu ternyata datang berkawan. Kebahagiaan itu tak datang sendiri. Dia datang bersama dengan berbagai pertanyaan yang entah mengapa membuatku sesak mendengarnya.
            Seperti sore tadi, saat ibuk menelponku. Awalnya obrolan kita nampak seperti biasa, tanya kabar dan saling berbagi cerita masih seperti biasa. Sampai pada akhirnya ibuk menanyakan tentang aku yang kapan pulang? Sudah mantep boyong atau masih mau nyantri?
            Mungkin kalau ibuk menanyakan itu di waktu yang lain, aku tidak senyesek ini. Aku memang merasa aneh dengan diriku sendiri akhir-akhir ini. Sensitif dan mudah  tersinggung. Entah mengapa aku seperti ini?
            Ah... basa-basi...!!!
Mungkin sebenarnya aku tau apa yang sebenarnya membuatku begini. Karena ledekan teman-teman yang tidakbisatidak kupikirkan.
***
            “mbak Say, udah beli kado buat mbak Yang belum?” tanya Anis ditengah-tengah dandannya hendak ke kampus.
            “belum dek, belum dapet ide mau ngado apaan... hehe”
            “lho? Mau ngado pakek cari ide juga to mbak? Wahh... jadi mau tau nih nanti bakal ngado apaan? Hahaha” timpal Anis mulai meledek. Matanya mengerling nakal. Aku Cuma nyengir.
            Mbak Yang atau Mela, adalah karibku sejak awal kita menjadi santri di Wahid Hasyim. Kedekatan kita sudah tidak dipertanyakan lagi. Hampir semua santri tahu tentang keakraban kita yang penuh kasih sayang. Itu sebabnya kita punya panggilan kesayangan dari teman-teman santri yaitu Say dan Yang. Say untukku dan Yang untuk Mela.
            Aku dan Mela sama-sama wisuda besok April, itu berarti sekitar satu setengah bulan lagi. Dan satu bulan sebelum wisuda, Mela insyaaAlloh akan melangsungkan pernikahannya dengan mas Bani. Tepatnya dua minggu lagi.
            Dari situlah ledekan teman-teman mulai gencar menyerangku. “mbak Say nggak sekalian nikah bareng sama mbak Yang?” atau “Mbak Say kok undangannya Cuma satu? Punya mbak Say belum disebar?” dan berbagai pertanyaan bermaksud sama.
            Sungguh, aku ikhlas kalau Mela memang harus menikah lebih dulu. Aku tidak iri dengan nasib Mela yang telah dipertemukan jodohnya. Dan seperti biasa aku selalu ikut senang apabila Mela senang.
            Tapi ternyata, ledekan itu diam-diam memaksaku untuk berfikir ke arah itu. Menikah. Tapi dengan siapa? Aku tidak sedang ‘dekat’ dengan lelaki manapun.
***
            “Din, akhir-akhir ini aku ngimpiin kamu terus” kata Mela di telfon pagi tadi.
            “haha... udah mau nikah kok ngimpiinnya aku Mel? Nggak mimpiin mas Bani?” ledekku coba menutupi keharuan.
            “aku serius Din, rasanya aku belum tenang kalo kamu belum ada kepastian kapan mau nyusul aku. Aku tau kamu juga berdebar menanti kapan kamu bisa menikah seperti aku yang sebentar lagi menikah kan, Din?” Mela selalu lembut tuturkatanya, tak terkecuali kata-kata tadi. Diucapkannya begitu lembut. Berbeda dari yang lain, sama sekali tak menjadikanku merasa nyesek seperti biasanya.
            “iya Mel, kamu tahu kan cerpen yang terakhir dimuat di majalah?” tanyaku untuk memstikan Mela mengingat ceritanya.
            “tentu, Din. Siapa laki-laki yang kamu maksud? Kakak kelasmu itu?”
            “siapa lagi kalau bukan dia, Mel? Kamu tahu sejak dulu aku tak pernah dekat dengan laki-laki karena aku masih berharap pada janji kakak kelasku, Mel”
            “aku mengerti, Din... tapi tak pernah ada kabar dari kakak kelasmu sejak perpisahan kan? Sudah hampir lima tahun, Din. Dan...”  kata-kata Mela mela mengambang, sejenak dia menarik bafas panjang. Kami terdiam.
            “iya, Mel... aku mengerti maksudmu. Untuk hal satu ini aku memang tidak realistis. Tapi perasaanku tak bisa berbohong, Mel. Hatiku mantap untuk percaya pada janji itu. Entah lah, Mel. Tolong jangan dibahas lagi. Aku sebel sama diriku sendiri kalo inget itu”
            “iya sayyang. Mela sayyang Dini. Ya sudah, jangan terlalu di ambil hati. Maaf ya, Din?”
            “hemmm... iya iya....”
***
            Obrolan dengan Mela di telfon sedikit memberi pencerahan untukku. Tentang cerpenku tarakhir itu. Aku jadi teringat bahwa sekitar  satu tahun terakhir ini, aku diam-diam suka memperhatikan ustadz baru di Pesantren. Entah apa yang membuatku tertarik memperhatikan beliau. Yang aku rasa, aku seperti melihat sosok yang sangat aku rindukan ada pada ustadz itu. Padahal secara fisik aku tak melihat ustadz itu mirip dengannya, kakak kelasku yang aku rindukan selama bertahun-tahun. Dan cerpen pun terlahir karena pengalaman itu. Cerpen yang menceritakan tentang aku, masalaluku dan ustadz baru yang hadir ditengah-tengah kerinduanku pada masalalu.
            Aku ingat bait-bait yang kutulis sebagai penutup cerpen itu
            Entah dari sisi yang mana
            Aku selalu melihat sosokmu pada dirinya
            Bahkan saat dia hanya sedang diam terduduk
            Sedang  mata normalku jelas tak melihat kemiripan sedikitpun
            Aku merasa ada yang aneh pada diriku
            Dan semakin  aneh...!!!
            Entah dari sisi yang mana?
            Apa mungkin karena  aku terlalau merindukanmu?
            Apa mungkin karena aku lelah merindukanmu?
            Sehingga alam bawar sadarku berbicara kelucuan ini?
            Aku tak persis tau
            Seandainya kau datang
            Kupastikan aku tau
            Kelucuan macam apa ini...
           
            Tiba-tiba terbersit pikiran aneh. Jangan-jangan Tuhan sengaja mengirim ustadz itu untuk menjadi penawar rindu yang sebenarnya?
***
            Masih ada hari ini, esok dan lusa menjelang pernikahan Mela, aku belum juga mempunyai kado spesial untuknya. Akhinya aku memutuskan untuk jalan-jalan ke mall hari ini untuk membeli sesuatu untuk Mela.
            Aku pun bersiap-siap dan memantas diri di depan kaca. Tiba-tiba Anis datang dan memberitahu bahwa ada saudaraku yang menunggu di kantor. Aku mengernyit, “sodara? Yang mana? Tumben?” batiku dalam hati. Tapi toh aku tetap menemui.
            Kantor pagi itu kebetulan sedang sepi. Aku mengetok daun pintu yang tidak ditutup dan langsung masuk tanpa persetujuan dari penghuninya, memang sudah umumnya begitu. Dan tak perlu menyisir ruangan itu dengan detail, aku melihat Aris, sodaraku tengan duduk di salahsatu kursi bersama seorang laki-laki yang memunggungiku. Hatiku berdesir. Desiran yang sama dengan desiran-desiran bertahun-tahun yang lalu.
            “Aris?” sapaku kaku. Tiba-tiba tubuhku terasa bergetar seluruhnya. Entah mengapa.
            Aris dan laki-kali itu pun menyadari kehadiranku, mereka menoleh kearahku bersamaan. masyaaAlloh... mas Fikar? hati ini tak henti-henti berdesir.
            Aku segera menunduk menyadari bahwa yang di depanku saat ini adalah orang yang sangat aku rindukan. Rasanya seperti mimpi. Aku benar-benar lemas saat itu, ingin menangis tapi malu. Mela, seharusnya kau menyaksikan ini.
            “Andini. Kau masih mengenalku?”
Aku diam tak menjawab. Lidahku kelu.
Suara mas Fikar. Sungguh itu benar suara yang pernah kudengar dan berjanji akan datang kepadaku dengan cinta. Yaa Alloh, peluk aku... peluk aku yaa Alloh...
            “aku baca ini, Din. Apa benar laki-laki yang bisa menjawab keluacuan di cerita ini adalah aku?”
            Aku coba mengumpulkan kekuatanku yang masih tersisa. Kehadiran yang tak terduga ini nyaris menguras seluruh energiku. Aku belum siap.
            Kutatap matanya. Seolah menantang. “pertanyan bodoh mas, tapi aku tak mungkin menjawab bukan” jawabku kubuat setegas mungkin aku bisa.
            Aris yang sedaritadi menunduk akhirnya mendongak. Menatapku dengan tatapan tak percaya. Mas Fikar justru trus menunduk. Aku mengikut. Menunduk lagi. Dan, hening...
            “bersediakah kamu jadi istriku, Din?” suara mas Fikar bergetar. Dia serius. Dan sekarang aku tak hanya ingin mengangis, tapi juga menjerit.
            Masih seperti mimpi rasanya. Tapi ini sungguhan, mas Fikar benar-benar datang menepati janjinya.
            “hahaha” aku tertawa, tawa yang sangat dibuat-buat. “apa-apaan? Kamu bercanda mas?”
“aku serius, Din” jawabnya mantap. Matanya menatapku seperti tadi aku menatapnya. Menantang.
Aku ikut menatapnya, kemudian mencoba menjawabnya dengan penuh keyakinan. Bismillahirrohmanirrohim. “kamu benar-benar tak sopan, mas. Aku kan punya bapak. Beliau waliku, mintalah aku pada beliau”
Mas Fikar tersenyum, begitu juga Aris. Jawaban yang tegas, tapi dengan airmata yang tak ter tahan. Airmata itu mulai menganak sungai dipipiku.
            Mela, kau tak perlu gelisah. Kepastian itu sudah ada. Dia di depanku sakarang. Apa kabar ini cukup menjadi kadoku untukmu, Mel? Mela... aku bahagia...
Trimakasih yaa Alloh...

12 Desember 2012

2 komentar: