Kamis, 09 Mei 2013

Pelajaran dari Ibu



Pagi itu ibu mengajakku berbelanja ke pasar, waktu itu aku masih kecil, mungkin TK atau kelas 1 MI (SD)… aku ingat benar waktu itu, ibuku menggandeng tanganku, tapi aku lupa ntah tangan kanan atau tangan kiriku yang beliau gandeng, yang jelas, satu tangannya untuk menggandengku, dan tangan satunya untuk menjinjing belanjaan.

Seperti anak-anak kebanyakan yang selalu banyak tingkah, aku juga… jadi walaupun tanganku digandeng aku tetap saja jalan sambil lompat-lompat tak bisa kalem (kayaknya malah sampe sekarang -_- )

Di tengah perjalan pulang itu, kami melihat pengemis –seorang kakek tua dengan baju lusuh duduk dgn kaleng bekas di depannya.

Ibu merogoh saku, aku lupa waktu itu apa tanganku yang dilepas atau belanjaannya yang diturunkan sementara, yang pasti ibu merogoh saku dan mengeluarkan beberapa rupiah lalu memberikannya padaku. Aku pun menerima uang itu dan menatap ibu, ibu tersenyum sambil sedikit membungkuk dan membisiki telingaku “artone paringaken teng mbah-mban niko… kalih atine mbatin nggeh… do’akaken ben simbah diparingi sehat tg Gusti Alloh” (“uangnya kasihkan ke mbah-mbah itu ya, sambil membatin, berdo’a supaya kakek dikasih sehat sama Alloh”) ya, kira-kira begitu bisik ibu, karena waktu itu kakekku memang sedang dikurangi ni’mat sehatnya. Aku pun mengangguk.

Lalu kami kembali berjalan, dan sesuai bisikan dari ibu, tepat di depan kakek itu kami berhenti dan aku menyemplungkan uang yang tadi ibu berikan ke kaleng di depan kakek itu sambil di hati  berdo’a untuk kesehatan kakekku. Dan aku masih ingat sekali, kakek pengemis itu berdo’a panjang sekali. Mendo’akan semoga rejeki kami lancar, mendo’akan semoga aku jadi anak baik dan do’a2  lain yang kesemuanya adalah do’a2 kebaikan. Aku ingat betul… waktu itu aku memegang tangan ibuku kuat sekali, terkejut dengan do’a kakek tua itu. Terkejut betapa kakek itu benar2 berterimakasih. Padahal setelah dipikir-pikir sekarang,  aku hanya berdo’a untuk kesembuhan kakek dan uang yang aku masukkan juga tak seberapa. Andaikan untuk membawa kakekku berobat ke dokter pasti buat bli bensinnya saja kurang apa lagi untuk berobat.? Tapi kakek itu berdo’a panjang sekali untuk kebaikan kami…
Ibuku meng-aamiin-i do’a itu dan tersenyum padaku kala itu… dan saat kami meneruskan perjalanan pulang, ibuku banyak cerita tentang shodaqoh dan do’a… saya tidak ingat semua cerita itu, yang saya pahami, ketika kita berdo’a dan dibarengi dengan ikhtiar dan sedekah, insyaaAlloh hasilnya lebih baik,,, lebih berkah...

Begitulah, tiap aku punya hajat dan ingat pengalaman itu, aku jadi tergerak untuk berbagi...
Wallohu a’lam…

Dan cerita ini, insyaaAlloh bukan pamer kalo saya pernah bersedekah kpd kakek2 itu… bukan
Saya hanya sedang teringat pengalaman itu, dan saya terkesan sekali dgn cara ibu mendidik kami putra-putrinya…
Semoga kelak aku bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku seperti ibuku yang baik ^_^
Ibu… do’aku untukmu…. Sayangku untukmu…. Maaf baru sebatas ini… terimakasih ibu ^_^

Bisik-Bisik Misteri


Entah nanti pada akhirnya apa yang akan kukatakan
Aku merasa sulit membahasakan apa yang tengah terjadi dalam diriku
Riuh bisikan demi bisikan yang coba menggoda penjaga benteng di dalam hati sana
Bisikan yang bertubi-tubi
Tak jelas kata-kata apa yang dikeluarkan, ramai sendiri

Sudah tak terhitung berapa kali aku mencoba menunggalkan pendengaranku untuk itu
Tapi terlalu bertubi-tubi, saling sahut-menyahut
Dari sudut sana aku mendengar bisikan tak jelas
Pun dari sudut-sudut yang lain
Aku pusing
Diputari bayang-bayang aksara kebisuanku sendiri

Sesekali aku berhenti peduli pada bisik-bisik itu
Bosan
Dan setiap kali itu
Aku harus terheran sekaligus muak
Mengapa aku tak bisa lama mengacuhkan bisik-bisik itu.?
Jiwaku lagi-lagi terpanggil untuk mempedulikannya
Untuk mengerti apa yang sebenarnya sudut-sudut hatiku ingin sampaikan

Tapi ada 1 pertanyaan yang pasti untuk semua itu
Nanti setelah aku mengerti, apa aku harus melakukan sesuatu untuk itu.?

Lima Huruf yang Kujaga


Seminggu yang lalu, aku masih di Jogja… masih berusaha menahan keluhan agar tak sampai tertuang…
Lima huruf  itu selalu hati-hati kujaga untuk tidak kuucap, mengeluh… lima huruf itu adalah huruf ke tiga, huruf pertama, huruf ke enam belas, huruf ke lima dan huruf ke sebelas, yang jika disusun kira-kira jadi begini: “C-A-P-E-K”
Yah… lima huruf tapi cukup menyesakkan…
Kesibukan  demi kesibukan baik itu tugas-tugas kampus, pondok serta ego yang selalu ingin dituruti…
Dan bayang-bayang manis akan rencana kepulangan di hari selasa sepulang praktikum (7 Mei ’13) benar-benar memberi atsmosfer luar biasa yang membuat semangatku membara untuk bisa menyelesaikan tanggungan-tanggunganku sesegera mungkin agar ketika aku pulang dan membolos kuliah tak  terlalu menjadi beban pikiran…
Tapi namanya manusia, merencanakan apapun tetap saja Alloh yang berhak menjawab hasilnya…
jum’at itu (3 Mei), aku baru beberapa menit rebah di lantai kamar pulang kuliah, tiba-tiba panggilan masuk dari ibu menyapa handphone bututku, beliau mengabarkan kabar duka… aku pun segera pulang (alhamdulillah, untung saja tugas-tugas sudah rampung waktu itu).
Setibanya di rumah sore itu aku hanya sempat sedikit merubah kostum. Lalu segera bergegas ke pemakaman…
Sejak jum’at itu sampai saat jemariku menuliskan ini (9 Mei) aku masih di rumah, kesugihan… dan rencana, besok kembali ke Jogja…
Memikirkan rencana itu, mendadak seperti ada benturan keras yang mengoyak-oyak pikiranku… bayang-bayang mulai hari besok setibanya di terminal Giwangan dan perjalanan-perjalanan selanjutnya… beeuuuuuhhhhh…..
Terbayang agenda Eksperimen besok sore, laporan-laporan, tugas-tugas kelompok, pondok meh Haul, meh wisuda Madin juga, penerimaan siswa-siswi MTs… yaa Alloh, seminggu di rumah apa terlalu lama.?
Seminggu di rumah, kenapa begitu asing dgn lima huruf yang sebelumnya begitu akrab dan selalu aku jaga baik-baik.? Dan kenapa sekarang aku jadi begini.? Kenapa aku deg-deg-an menyambut hari esok, menyambut kembali si “Lima Huruf”… oh, mungkin karena aku rindu kamu duhai “Lima Huruf”
“Lima Huruf” oh… “Lima Huruf”… mari kita kembali bersinergi bersama ^_^
Maaf kan aku seminggu ini…

Selasa, 16 April 2013

Cerpen: Kado Pernikahan Untuk Sahabat


Kado Pernikahan Untuk Sahabat
nilal 'ulya
(cerpen ini dapat dibaca di kumcer Santri Wahid Hasyim "Santri Anti Galau")



Seorang santri terlihat menyendiri menghadap layar laptop di salah satu sudut kamar Asrama Abdul Hadi. Mungkin beberapa santri yang dari tadi sempat keluar masuk kamarnya mengiranya sedang khusyuk dengan kata-kata. Ya, santri satu ini memang sudah biasa mengirim tulisan-tulisannya di berbagai media cetak, jadi wajar kalau santri-santri tadi mengira demikian dan tidak mencoba mengganggu kekhusyuannya. Tapi siapa sangka kalo para santri tadi salah kira?
            Santri yang menyendiri di salah satu sudut kamar itu adalah aku. Santri sekaligus mahasiswa yang tengah menanti saatnya wisuda tiba. Alhamdulillah, perkuliahan yang kutempuh lebih kerang empat tahun terakhir ini sudah berhasil kutaklukkan. Bahagia itu pasti. Tapi, kebahagiaan itu ternyata datang berkawan. Kebahagiaan itu tak datang sendiri. Dia datang bersama dengan berbagai pertanyaan yang entah mengapa membuatku sesak mendengarnya.
            Seperti sore tadi, saat ibuk menelponku. Awalnya obrolan kita nampak seperti biasa, tanya kabar dan saling berbagi cerita masih seperti biasa. Sampai pada akhirnya ibuk menanyakan tentang aku yang kapan pulang? Sudah mantep boyong atau masih mau nyantri?
            Mungkin kalau ibuk menanyakan itu di waktu yang lain, aku tidak senyesek ini. Aku memang merasa aneh dengan diriku sendiri akhir-akhir ini. Sensitif dan mudah  tersinggung. Entah mengapa aku seperti ini?
            Ah... basa-basi...!!!
Mungkin sebenarnya aku tau apa yang sebenarnya membuatku begini. Karena ledekan teman-teman yang tidakbisatidak kupikirkan.
***
            “mbak Say, udah beli kado buat mbak Yang belum?” tanya Anis ditengah-tengah dandannya hendak ke kampus.
            “belum dek, belum dapet ide mau ngado apaan... hehe”
            “lho? Mau ngado pakek cari ide juga to mbak? Wahh... jadi mau tau nih nanti bakal ngado apaan? Hahaha” timpal Anis mulai meledek. Matanya mengerling nakal. Aku Cuma nyengir.
            Mbak Yang atau Mela, adalah karibku sejak awal kita menjadi santri di Wahid Hasyim. Kedekatan kita sudah tidak dipertanyakan lagi. Hampir semua santri tahu tentang keakraban kita yang penuh kasih sayang. Itu sebabnya kita punya panggilan kesayangan dari teman-teman santri yaitu Say dan Yang. Say untukku dan Yang untuk Mela.
            Aku dan Mela sama-sama wisuda besok April, itu berarti sekitar satu setengah bulan lagi. Dan satu bulan sebelum wisuda, Mela insyaaAlloh akan melangsungkan pernikahannya dengan mas Bani. Tepatnya dua minggu lagi.
            Dari situlah ledekan teman-teman mulai gencar menyerangku. “mbak Say nggak sekalian nikah bareng sama mbak Yang?” atau “Mbak Say kok undangannya Cuma satu? Punya mbak Say belum disebar?” dan berbagai pertanyaan bermaksud sama.
            Sungguh, aku ikhlas kalau Mela memang harus menikah lebih dulu. Aku tidak iri dengan nasib Mela yang telah dipertemukan jodohnya. Dan seperti biasa aku selalu ikut senang apabila Mela senang.
            Tapi ternyata, ledekan itu diam-diam memaksaku untuk berfikir ke arah itu. Menikah. Tapi dengan siapa? Aku tidak sedang ‘dekat’ dengan lelaki manapun.
***
            “Din, akhir-akhir ini aku ngimpiin kamu terus” kata Mela di telfon pagi tadi.
            “haha... udah mau nikah kok ngimpiinnya aku Mel? Nggak mimpiin mas Bani?” ledekku coba menutupi keharuan.
            “aku serius Din, rasanya aku belum tenang kalo kamu belum ada kepastian kapan mau nyusul aku. Aku tau kamu juga berdebar menanti kapan kamu bisa menikah seperti aku yang sebentar lagi menikah kan, Din?” Mela selalu lembut tuturkatanya, tak terkecuali kata-kata tadi. Diucapkannya begitu lembut. Berbeda dari yang lain, sama sekali tak menjadikanku merasa nyesek seperti biasanya.
            “iya Mel, kamu tahu kan cerpen yang terakhir dimuat di majalah?” tanyaku untuk memstikan Mela mengingat ceritanya.
            “tentu, Din. Siapa laki-laki yang kamu maksud? Kakak kelasmu itu?”
            “siapa lagi kalau bukan dia, Mel? Kamu tahu sejak dulu aku tak pernah dekat dengan laki-laki karena aku masih berharap pada janji kakak kelasku, Mel”
            “aku mengerti, Din... tapi tak pernah ada kabar dari kakak kelasmu sejak perpisahan kan? Sudah hampir lima tahun, Din. Dan...”  kata-kata Mela mela mengambang, sejenak dia menarik bafas panjang. Kami terdiam.
            “iya, Mel... aku mengerti maksudmu. Untuk hal satu ini aku memang tidak realistis. Tapi perasaanku tak bisa berbohong, Mel. Hatiku mantap untuk percaya pada janji itu. Entah lah, Mel. Tolong jangan dibahas lagi. Aku sebel sama diriku sendiri kalo inget itu”
            “iya sayyang. Mela sayyang Dini. Ya sudah, jangan terlalu di ambil hati. Maaf ya, Din?”
            “hemmm... iya iya....”
***
            Obrolan dengan Mela di telfon sedikit memberi pencerahan untukku. Tentang cerpenku tarakhir itu. Aku jadi teringat bahwa sekitar  satu tahun terakhir ini, aku diam-diam suka memperhatikan ustadz baru di Pesantren. Entah apa yang membuatku tertarik memperhatikan beliau. Yang aku rasa, aku seperti melihat sosok yang sangat aku rindukan ada pada ustadz itu. Padahal secara fisik aku tak melihat ustadz itu mirip dengannya, kakak kelasku yang aku rindukan selama bertahun-tahun. Dan cerpen pun terlahir karena pengalaman itu. Cerpen yang menceritakan tentang aku, masalaluku dan ustadz baru yang hadir ditengah-tengah kerinduanku pada masalalu.
            Aku ingat bait-bait yang kutulis sebagai penutup cerpen itu
            Entah dari sisi yang mana
            Aku selalu melihat sosokmu pada dirinya
            Bahkan saat dia hanya sedang diam terduduk
            Sedang  mata normalku jelas tak melihat kemiripan sedikitpun
            Aku merasa ada yang aneh pada diriku
            Dan semakin  aneh...!!!
            Entah dari sisi yang mana?
            Apa mungkin karena  aku terlalau merindukanmu?
            Apa mungkin karena aku lelah merindukanmu?
            Sehingga alam bawar sadarku berbicara kelucuan ini?
            Aku tak persis tau
            Seandainya kau datang
            Kupastikan aku tau
            Kelucuan macam apa ini...
           
            Tiba-tiba terbersit pikiran aneh. Jangan-jangan Tuhan sengaja mengirim ustadz itu untuk menjadi penawar rindu yang sebenarnya?
***
            Masih ada hari ini, esok dan lusa menjelang pernikahan Mela, aku belum juga mempunyai kado spesial untuknya. Akhinya aku memutuskan untuk jalan-jalan ke mall hari ini untuk membeli sesuatu untuk Mela.
            Aku pun bersiap-siap dan memantas diri di depan kaca. Tiba-tiba Anis datang dan memberitahu bahwa ada saudaraku yang menunggu di kantor. Aku mengernyit, “sodara? Yang mana? Tumben?” batiku dalam hati. Tapi toh aku tetap menemui.
            Kantor pagi itu kebetulan sedang sepi. Aku mengetok daun pintu yang tidak ditutup dan langsung masuk tanpa persetujuan dari penghuninya, memang sudah umumnya begitu. Dan tak perlu menyisir ruangan itu dengan detail, aku melihat Aris, sodaraku tengan duduk di salahsatu kursi bersama seorang laki-laki yang memunggungiku. Hatiku berdesir. Desiran yang sama dengan desiran-desiran bertahun-tahun yang lalu.
            “Aris?” sapaku kaku. Tiba-tiba tubuhku terasa bergetar seluruhnya. Entah mengapa.
            Aris dan laki-kali itu pun menyadari kehadiranku, mereka menoleh kearahku bersamaan. masyaaAlloh... mas Fikar? hati ini tak henti-henti berdesir.
            Aku segera menunduk menyadari bahwa yang di depanku saat ini adalah orang yang sangat aku rindukan. Rasanya seperti mimpi. Aku benar-benar lemas saat itu, ingin menangis tapi malu. Mela, seharusnya kau menyaksikan ini.
            “Andini. Kau masih mengenalku?”
Aku diam tak menjawab. Lidahku kelu.
Suara mas Fikar. Sungguh itu benar suara yang pernah kudengar dan berjanji akan datang kepadaku dengan cinta. Yaa Alloh, peluk aku... peluk aku yaa Alloh...
            “aku baca ini, Din. Apa benar laki-laki yang bisa menjawab keluacuan di cerita ini adalah aku?”
            Aku coba mengumpulkan kekuatanku yang masih tersisa. Kehadiran yang tak terduga ini nyaris menguras seluruh energiku. Aku belum siap.
            Kutatap matanya. Seolah menantang. “pertanyan bodoh mas, tapi aku tak mungkin menjawab bukan” jawabku kubuat setegas mungkin aku bisa.
            Aris yang sedaritadi menunduk akhirnya mendongak. Menatapku dengan tatapan tak percaya. Mas Fikar justru trus menunduk. Aku mengikut. Menunduk lagi. Dan, hening...
            “bersediakah kamu jadi istriku, Din?” suara mas Fikar bergetar. Dia serius. Dan sekarang aku tak hanya ingin mengangis, tapi juga menjerit.
            Masih seperti mimpi rasanya. Tapi ini sungguhan, mas Fikar benar-benar datang menepati janjinya.
            “hahaha” aku tertawa, tawa yang sangat dibuat-buat. “apa-apaan? Kamu bercanda mas?”
“aku serius, Din” jawabnya mantap. Matanya menatapku seperti tadi aku menatapnya. Menantang.
Aku ikut menatapnya, kemudian mencoba menjawabnya dengan penuh keyakinan. Bismillahirrohmanirrohim. “kamu benar-benar tak sopan, mas. Aku kan punya bapak. Beliau waliku, mintalah aku pada beliau”
Mas Fikar tersenyum, begitu juga Aris. Jawaban yang tegas, tapi dengan airmata yang tak ter tahan. Airmata itu mulai menganak sungai dipipiku.
            Mela, kau tak perlu gelisah. Kepastian itu sudah ada. Dia di depanku sakarang. Apa kabar ini cukup menjadi kadoku untukmu, Mel? Mela... aku bahagia...
Trimakasih yaa Alloh...

12 Desember 2012

Jumat, 12 April 2013

Tidak Ada Aktivitas yang Sepele


Ini hari sabtu, hari bebas dari kuliah…
Tapi, bukan berarti hari ini boleh bermalas-malasan sesuka hati…
Mungkin besok, lusa, besoknya lusa, lusanya lusa dan seterusnya, Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk menikmati hidup ini.
Dan bukankah kita menginginkan kehidupan kita selalu lebih baik lagi.? Bukankah kita menginginkan untuk jadi orang sukses yang tidak hanya sukses memakmurkan diri sendiri tapi juga dgn kemakmuran orang lain disekitar kita.?
So, kenapa kita bermalas-malas.? Kita harus mempersiapkan diri untuk seseatu yg besar itu. Mustahil jika tiba-tiba kita bisa menjadi besar tanpa proses yg dilewati. Tidakkah kalian sering mendengar ungkapan tersebut.?
Ok, sesekali rasa malas mungkin muncul, itu wajar karena kita manusia dan mungkin juga boleh untuk sesekali dituruti. Terserah kita, kita bebas memilih apakah akan membuang rasa malas itu atau hanya menurutinya sesekali saja. Yang jelas, apapun yang kita lakukan sekarang, adalah investasi kita di masa yang akan datang. Itu sudah hukum alam. Seperti halnya orang menanam biji apel, maka biji kecil itu akan tumbuh menjadi pohon apel yang ketika tiba masanya nanti, pohon itu mulai berbuah. Itulah saatnya orang tadi bisa menikmati buah dari apa yang pernah ditanamnya pada masa lalu. Begitu juga dengan apa yang sekarang kita lakukan, apapun itu, “sesepele” apapun itu, kita akan berjumpa kembali dengannya dikemudian hari dalam wujud lain, dan tentunya kita berharap ia telah berubah dalam wujud kebahagiaan, kesuksesan.
Saya teringat pengalaman saya beberapa bulan lalu.
Terimakasih yang sangat untuk bpk K.Jalal dan ibu Nyai Neli yang telah memberi saya kesempatan untuk belajar serta merasakan bagaimana menjadi pengusaha. Tentu saja belum pengusaha beneran, hanya “pura-pura” dulu ^_^
Kebetulan waktu itu saya menawarkan diri untuk membantu di took milik pak kyai tersebut, mulai dari membersihkan barang-barang dari debu, menata dan merapihkan barang, mengecek tgl kadarluarsa menjadi kasir, memberi harga, dll.
Saat hari pertama saya di took, kebetulan pak kyai dan bu nyai ada di toko, beliau meliahat saya tengah sibuk dengan barang-barang toko yang harus dibersihkan. Menurunkannya dari rak ke keranjang, lalu mengelap rak dan barang-barang lalu kemudian ditata kembali di rak serapih mungkin. Bapak yang melihat saya letih tiba-tiba memanggil saya dan mengajak saya dan teman saya yang juga sedang belajar di toko untuk berbincang di ndalem (rumah pak kyai).
“wah, Nilal capek ya?” tegur bapak sambil mengambil posisi duduk. Saya hanya tersenyum dalam hati saya berujar lirih “iya, tapi saya senang”
“gimana…gim
ana pengalaman pertama di toko?” bapak meminta kami menceritakan pengalaman pertama kami di toko. Lalu kami pun bercerita, sesekali bapak tertawa menanggapi cerita kami.
Bapak pun banyak memberi motivasi-motivasi, tentang harapan bapak agar umat islam bias mencapai tingkat ekonomi yang baik. Biar rajin sedekah, biar tidak suka pamrih dan mengharapkan sesuatu dari orang lain.
Selain itu, ada pesan yang sangat membekas bagi saya yaitu tentang “merapihkan rak”.  Pesan bapak waktu itu, “merapihkan rak itu jangan dianggap sepele, jangan minder karena temanmu mampir ke toko sepulang nagji dan malah melihatmu sedang merapihkan rak. Tanamkan rasa percaya dirimu. Ini lho aku, bukan sedang merapihkan atau sedar menata barang-barang dagangan ini ke rak, tapi ini lho aku yang sejatinya sedang menata hati” kata bapak dengan menyunggingkan senyum ramah pada kami. Kami tertunduk, takzim mendengar dawuh dari bapak.
“Coba kamu bayangkan, saat kamu mengelap barang-barang itu dari debu lalu menatanya kembali sambil melafalkan ‘bismillah’ dalam hati, sejatinya kamu sedang belajar untuk membersihkan hati kamu dari ‘debu-debu’ yang mengotorinya. Kemudian saat kamu menata dan merapihkannya, kamu berfikir dulu bagaimana agar lebih enak dilihat? Sejatinya bukan barang-barang dagangan itu yang sedang kamu tata dan rapihkan, tapi lagi-lagi hati kamu. Kamu belajar bagaimana cara menempatkan seseatu dengan baik. Bahkan mungkin sejatinya kamu sedang belajar bagaimana kamu memposisikan dirimu dengan tempat yang ada”.
subhanaLloh, bapak… terimakasih atas inspirasinya, atas kesempatannya belajar di toko, walau hanya sebentar…
Alhamdulillah… semoga ada manfa’at yang bias dipetik….
Selamat Beraktivitas, Teman-Teman… Semoga kita bias mengambil pelajaran dari tiap aktivitas yang kita kerjakan ^_^

Selasa, 19 Maret 2013

Beliau, Sosok yang Aku Teladani


Ibuku, beliau sosok luar biasa yang memesona
Beliau selalu punya cara untuk membuat kami, anak-anaknya merasa nyaman
Bapakku, beliau juga sosok  luar biasa yang mengagumkan. Beliau selalu punya cara untuk membuaat kami, anak-anaknya merasa kuat

Beliau berdua, orang tuaku.
Manusia paling berjasa di hidupku. Beliau mengenalkanku pada satu  demi satu hal-hal 'ajaib' yg Tuhan hamparkan
Meski kami seringkali tak mengerti apa yang sebenarnya tengah mereka ajarkan. Bahkan tak jarang kami mengeluh ini dan itu saking bebalnya kami. Tapi balasan beliau tetaplah kasih-sayang yang tak  pernah putus.
Do'a  terus menerus seperti air yag tak kuasa brhenti mengalir. Berharap kami menjadi putri2 yang sholihah dan putra2  yg sholih
Ibu,Bapak... Trimakasih untuk semua ini;
untuk do'a-do'a di tiap sujud ibu dan bapak
untuk tirakat-tirakat  ibu dan bapak
untuk pemaafan-pemaafan atas kenakalan kami
serta untuk... untuk...yang lain yg begitu banyak
Semoga Alloh membalas semua-muanya dgn kebaikan yg berlipat-lipat

ibu, bapak...Saya membayangkan senyum Ibu  dan bapak di beberapa  tahun kedepan
menyaksikan kami, anak ingusan yg dulu begitu bebal kau didik, menjadi orang sholih/sholihah yang menebar kebaikan di bumi-Nya dengan penghambaan yg sungguh-sungguh kpd Robbnya. Sebagaimana yang selalu ibu dan bapak contohkan... aamiin ^_^        
Terimakasih ibu, terimakasih bapak.... :')

Senin, 11 Maret 2013

Mereka Ada Disekelilingmu, Bergurulah...

Ada banyak pengalaman mengesankan yang gemulai, melenggak-lenggok, menari berputar-putar; menegaskan bahwa keberadaannya patut untuk diperhatikan...
Ada bercak-bercak yang memang sengaja ditorehkan, maupun yang tak sngaja menyiprati lembar demi lembar kertas kehidupan yang mungkin bisa disebut mulai "kusut". Baik itu hitam, putih, atau mungkin merah-kuning-hijau serta warna-warna lain yang turut mewarnai "kekusutan" kertas kehidupan ini...

Sebenarnya, mereka (pengalaman yang menari-nari, cipratan warna-warni) tidak dihadirkan begitu saja. Ketika kita sedikit saja bersedia memperhatikannya, kemudian mengenali dan memaknai bahasa yang coba mereka bawa dan sampaikan kepada kita, maka sedikit demi sedikit mata batin kita akan menjumpai makhluk-makhluk luar biasa dan kita akan tertarik untuk berkenalan dengan mereka. Kita pun akan semakin membuka diri; untuk lebih memperhatikan, mengenali dan memaknai bahasa mereka. Ktika sudah demikian, lalu kita akan bersahabat dengan mereka, berguru pula pada mereka dengan penuh kesadarsan dan kerendahan hati... ^_^

Selamat Berkenalan dgn "Mereka" yaaa....